(by: Cendana Puspitasari)
Add caption |

“Terimakasih ya Allah, Engkau masih
menyayangi hamba, Engkau masih izinkan hamba untuk memperbaiki diri, Engkau
masih izinkan hamba untuk bertemu dengan orang-orang yang hamba sayangi : orang
tua, keluarga, sahabat, guru. Terimasih pula Engkau telah mengirimkan Dokter
Danang yang selama ini sabar memeriksaku, memberiku motivasi, dan menyayangiku
selayaknya seorang anak baginya.” Begitulah do’a yang kupanjatkan pagi ini.
Kalimat terakhir dalam do’a tersebut
mengingatkanku akan kejadian 6 tahun yang lalu. Disaat aku harus berbaring di
ranjang rumah sakit dengan segudang obat yang harus ku telan. Yaa, waktu itu
awal masuk SMA aku telah divonis mengidap lemah jantung. Hampir setiap hari
waktuku habis diatas ranjang, bahkan aku harus menjalani terapi selama tiga
bulan. Kalau saja ranjangku dapat bicara, mungkin dia akan mengeluh dan berkata
“Payah sekali kamu. Dasar manusia nggak
punya semangat hidup. Setiap hari bisanya cuma tidur, tidur, dan tidur.”
Namun apalah dayaku waktu itu, aku juga tersiksa dengan sakit yang perlahan
menggerogoti tubuhku. “Apakah Dedy bisa sembuh Dok ?” suara ibuku yang halus
masih jelas teringat di memoriku saat beliau bertanya tentang keadaanku kepada
Dokter Danang, seorang dokter spesialis jantung yang sudah ku anggap sebagai
ayah bagiku. Ayahku telah tiada sejak aku berusia 7 tahun, beliau adalah
seorang pembina Pramuka di sebuah gugus
depan, namun sayang, disaat kejayaan beliau membina, sebuah penyakit yang
sama sepertiku telah merenggut nyawanya. “Jadilah penerus Ayah nak, karna tugas
Ayah belum selesai, dan Ayah harap kamu kelak bisa menjadi seorang Praja Muda
yang membanggakan.” Begitulah pesan terakhir yang Ayah berikan sebelum
menghembuskan nafas terakhirnya.
Dan
mulai saat itulah aku bertekad untuk menjadi seorang Praja Muda Karana yang di
harapkan Ayah. Namun, disaat harapan itu ingin ku wujudkan di masa SMA,
ternyata penyakit yang diderita Ayahpun menurun padaku. Beberapa bulan setelah
aku sah menjadi anak SMA aku sudah tidak masuk sekolah selama satu bulan, bukan
karna aku ndugal, tapi karna harus
melewati masa pemulihan. Aku hampir putus asa, karna aku tidak mungkin bisa menjadi
seseorang yang Ayah harapkan, usiakupun pasti tidak akan lama lagi. Begitulah
pikirku. Namun ternyata Tuhan masih sayang padaku, Dia kirimkan orang-orang
yang begitu menyayangiku, yaa, orang-orang itu adalah para sahabat dan kakak
seniorku. Disela kesibukan mereka sebagai penggedhe
di sekolah ternyata mereka masih sempatkan diri untuk menjengukku. Begitu
banyak motivasi yang mereka berikan sehingga sejak saat itu tumbuh keyakinan
bahwa aku masih bisa sembuh.
Hingga
saat hari pertamaku masuk setelah satu bulan vacum dari dunia pendidikan aku
berkeinginan untuk mengikuti kumpul Pramuka yang akan membahas acara yang
disebut dengan Kemah Bhakti Bantara.
Istilah yang asing bagiku.
“Kamu yakin ingin ikut Ded ?” tanya Clarissa, teman
semejaku. Maklumlah, aku baru masuk kelas, jadi tinggal tersisa Clarissa yang
duduk sendirian.
“Iyaa dong Riss. Hahaha, Kenapa?” Tanyaku balik
dengan nada sumringah.
“Kamu kan baru saja sembuh, acara kemah disini bukan
untuk sekedar Happy-happy lo Ded. Disini penuh dengan kesigapan dan
kedisiplinan. Apa kamu yakin ?” Saran Heri memotong tawaku.
“Aku itu kuat lo teman-teman, lihat nih sudah
seperti Dedy yang dulu kalian kenal.” Aku pun berdiri dan berusaha meyakinkan
mereka bahwa aku baik-baik saja.
“Teman-teman,
jangan halangi tekad seseorang. Tuhan, tidak akan memberikan cobaan melebihi
batas kemampuan hamba-Nya. Justru dari cobaan-cobaan itu tandanya Tuhan masih
sayang sama kita. Dan kalian bisa lihat, bahwa sekarang aku baik-baik saja.
Kalian juga tau, bahwa Almarhum Ayah menginginkan aku bisa menjadi seorang
Praja Muda yang membanggakan. Dan aku harap ini adalah kesempatanku untuk
mencapai itu.” Tambahku sembari tersenyum.
Kulihat sahabat-sahabat yang mengelilingiku waktu
itu, Bunga, Clarissa, Heri, Wahyu, Nando, semua saling bertatap-tatapan
mendengar lontaranku. Bahkan Bunga yang kuanggap sebagai seseorang yang selalu
tegar, nampak mengusap air mata yang menetes di pipinya.
Hari
yang ku nantipun tiba, dengan segala kematangan persiapan, aku yakin tak ada
satupun barang yang diminta panitia yang tertinggal di rumah. Sudah kupastikan
semua masuk dalam ranselku. Berbagai kegiatan ku ikuti, namun ada saatnya jelajah aku tidak diizinkan panitia
untuk ikut, karna melihat kondisiku yang mungkin saat itu terlihat pucat. Aku
pun diminta untuk ke ruang saloka,
namun aku menolak. “Aku jaga tenda saja Kak, aku pastikan tak ada apa-apa. Aku
akan masak untuk teman-teman.” Bantahku tegas kepada kak Nafi sebagai Pradana di gugus depan tersebut.
Matahari
semakin condong kebarat, kulihat dari balik tenda teman-teman sanggaku telah sampai di sekretariatan, betapa leganya melihat
muka gosongnya mereka dengan balutan
semacam arang hitam di pipi. Aku pun tersenyum dan menyajikan makanan didalam
tenda khusus teruntuk mereka. Aku tau mereka lelah, dan harapanku pastilah
makanan alakadarnya itu langsung disantap dengan lahap. Dan ternyata benar,
betapa sumringahnya mereka ketika melihat kedalam tenda telah ada menu makanan
anak Pramuka, yaitu Oseng buncis,
wortel, dan tempe goreng. Nandopun segera memimpin do’a dan langsung menyantap
habis makanan itu. Tak mereka sadari hancurnya rasa masakaku. Aku yang
memasaknya saja nggak yakin, tapi mereka tak peduli. Bak anak terlantar tanpa
makan tiga hari. Begitu lahab dan kompaknya mereka.
Disela waktu ishoma
ada kalanya kita bersenda gurau. Gelak tawa mereka mengurangi sakit yang
sebenarnya ku rasakan. Hingga menjelang resepsi api unggun, dada sebelah kiriku
berasa seperti ditusuk parang. “Ya Allah, jangan biarkan hamba masuk saloka dan merepotkan teman serta
kakak-kakak senior. Kuatkan hamba demi Ayah, dan demi tekad hamba Ya Allah.
Engkau Yang Maha Mengetahui apa yang hamba rasakan, biarkan ini menjadi rahasia
hamba. Jika hamba harus jatuh hari ini, hamba akan gagal membahagiakan Ayah.
Jangan biarkan hamba menjadi anak yang durhaka Ya Allah.” Do’a dalam shalat
Isya’ku dan sebelum peluit tanda berkumpul dibunyikan Kak Nizam selaku Pemangku Adat.
Selang
beberapa hari setelah acara perkemahan itu, ekstra wajib Pramukapun diaktifkan
lagi. Namun sayang, hingga ekstra terakhirpun aku tak pernah bisa mengikutinya
karna setiap Sabtu aku harus ceck-up ke Dokter Danang. Namun entah karna
kasihan atau apa akhirnya akupun di beri amanah untuk menjadi Juru Uang. Sungguh suatu kehormatan
bagiku, aku yang tak pernah merasakan bagaimana rasanya lulus SKU sebagai Bantara sampai Laksanapun
bisa dibilang sekarang menjadi penggedhenya Pramuka. Tak sedikit kritik
dari luar yang begitu menyengat telinga dan hati tentang keputusan Kakak senior
yang memberiku amanah itu. Sebenarnya wajar, karna memang perjuanganku tak ada
apa-apanya di banding teman-temanku yang hampir setiap Sabtu rutin mengikuti
ekstra.
“Kita kasih kamu kepercayaan ini bukan tanpa alasan,
kami punya pertimbangan bahwa tekad kamu untuk bisa menjadi seorang Pramuka itu
tinggi. Meski secara fisik kamu tidak lulus SKU
seperti teman-teman kamu yang lain, tapi kami tau keloyalan kamu. Bagaimana kamu bisa memberikan inspirasi bagi
rekan-rekan kamu bahwa dengan raga yang lemah itu tidak menghalangi jiwa kita untuk
menjadi seorang Praja Muda Karana yang tangguh, dan perlu kamu tau bahwa
Pramuka itu bukan hanya sekedar organisasi, tapi juga Jiwa dan tujuan seseorang.
Capai tujuan itu dan tetap jadilah kamu yang apa adanya. Raga lemah jangan
jadikan masalah, tapi jadikan itu suatu pembuktian untuk menjadi Jiwa yang
tangguh.” Jelas teringat nasehat Kak Nafi, sang motivator.
Selayaknya orang penting, dengan title Juru Uang akupun terlalu sibuk
memikirkan bagaimana memanage uang dengan baik dan pantangan bagiku adanya
virus KKN. Sakit yang kurasakan tak menjadikanku alasan untuk berangkat pagi
pulang sore, atau bahkan disaat menjelang ada acara tak tanggung-tanggung aku
dan teman-teman yang lain tidur di sekolahan.
Dan
selang beberapa waktu aku dipercaya untuk mengikuti lomba PBB, dimana lomba itu begitu menguras tenaga dan fisik, meskipun sempat
ada penolakan dari Dokter Danang dan Ibu, karna lemah jantung sangat rawan pada
kondisi fisik yang lemah dan terlalu capek, tapi aku berusaha meyakinkan mereka
bahwa aku akan baik-baik saja. “Hidupku memang hanya bergantung pada obat Pak,
tapi aku nggak pengen terus-terusan memanjakan tubuhku. Semakin lama aku tak
bergerak, maka akan semakin lama pula penyakit ini sarang ditubuhku. Dan hanya
akan melemahkanku. Tolong izinkan untuk kali ini.” Tegasku pada Dokter Danang.
“Sakit akan benar-benar menjadi sakit jika
kamu memanjakan sakit itu dengan tidak menggerakkan tubuhmu” kalimat dari Pembina putri itulah yang
membulatkan tekadku untuk tetap ikut lomba itu. Dan semenjak latihan fisik itu justru aku
tidak lagi merasakan sakit di dada kiriku. Entah disembunyikan sementara atau
selamanya aku tidak tahu. Yang jelas hingga saat hari H untuk lomba tersebut
aku tidak merasakan sakit itu. Setelah lomba itupun aku ceck-up lagi ke Dokter
Danang, dan ternyata jantungku bisa kembali normal.
“Ini sungguh diluar pemikiran, dengan olah fisik
ternyata jantung Dedy bisa kembali normal. Ini seperti mu’jizat dari-Nya.”
Tungkas Dokter Danang terkejut ketika melihat hasil diagnosa kesehatanku.
Akupun bengong tak percaya, semua ini ternyata
mungkin terjadi. Tak menyangka, Ayahku saja meninggalkan kami karna penyakit
yang sama, sementara aku bisa sembuh. Subhanallah. Kuasa-Mu begitu dahsyat
yaAllah.
Hari
demi hari ku lalui, begitu banyak yang aku dapat dari orang-orang Pramuka.
Korsa, disiplin, tanggung jawab, wibawa, dan bahkan sakit yang
menggerogotikupun dapat dikalahkan oleh tekadku untuk menjadi seorang Pramuka.
Allah mengatur dan mempertahankan hidupku lewat perantara Jiwa Pramuka yang aku
perjuangkan.
Tak
terasa lamunanku dibuyarkan oleh terik matahari yang begitu masuk melalui celah
jendela kamar. Akupun mengeryitkan mata sebagai tanda cahaya itu menembus
kelopak mataku. Ternyata lama sudah aku memutar memori masa laluku diatas
sajadah ini. Kini meskipun sudah tak menggenggam amanah Juru Uang tapi jiwaku masih dalam Pramuka. Acara apapun yang
diselenggarakan gugus depan aku
selalu berusaha menghadirinya, sebagai tanda bahwa darahku telah mengalir
bersama jiwaku untuk menjadi Pramuka.
Semoga lahir jiwa-jiwa Muda yang memiliki dedikasi
tinggi untuk menjadi seorang Praja Muda Karana yang tangguh.
0 komentar:
Posting Komentar