Darah Sang Pramuka


Darah Sang Pramuka
(by: Cendana Puspitasari)
Add caption
Pagi yang dingin ini membuatku seolah enggan beranjak dari ranjang kesayanganku ini. Matahari yang belum merekahkan senyumnyapun memberikan pertanda hari ini masih gelap. Namun, aku terbangun karna mendengar suara alarm yang begitu menggetarkan hatiku. Yaa, suara yang sayup-sayup terdengar di telinga itu mampu membangunkanku dari tidur pulas malam tadi. Suara itu adalah Adzan Subuh. Yaa, meskipun jarak rumahku dengan masjid agak berjauhan namun masih jelas bahwa itu adalah suara lafadz Sang Penciptaku yang dikumandangkan. Bergegas aku bangkit dan meninggalkan bantal-guling sebagai sahabat tidurku itu. Ku ambil air wudlu dan akupun menunaikan kewajibanku. Dalam sujud terakhir ku panjatkan rasa syukur karna sampai pada detik ini seluruh alat indraku masih berfungsi secara normal. Bahkan aku masih di izinkan untuk melihat indahnya warna-warni dunia yang membesarkanku ini.
“Terimakasih ya Allah, Engkau masih menyayangi hamba, Engkau masih izinkan hamba untuk memperbaiki diri, Engkau masih izinkan hamba untuk bertemu dengan orang-orang yang hamba sayangi : orang tua, keluarga, sahabat, guru. Terimasih pula Engkau telah mengirimkan Dokter Danang yang selama ini sabar memeriksaku, memberiku motivasi, dan menyayangiku selayaknya seorang anak baginya.” Begitulah do’a yang kupanjatkan pagi ini.
Kalimat terakhir dalam do’a tersebut mengingatkanku akan kejadian 6 tahun yang lalu. Disaat aku harus berbaring di ranjang rumah sakit dengan segudang obat yang harus ku telan. Yaa, waktu itu awal masuk SMA aku telah divonis mengidap lemah jantung. Hampir setiap hari waktuku habis diatas ranjang, bahkan aku harus menjalani terapi selama tiga bulan. Kalau saja ranjangku dapat bicara, mungkin dia akan mengeluh dan berkata “Payah sekali kamu. Dasar manusia nggak punya semangat hidup. Setiap hari bisanya cuma tidur, tidur, dan tidur.” Namun apalah dayaku waktu itu, aku juga tersiksa dengan sakit yang perlahan menggerogoti tubuhku. “Apakah Dedy bisa sembuh Dok ?” suara ibuku yang halus masih jelas teringat di memoriku saat beliau bertanya tentang keadaanku kepada Dokter Danang, seorang dokter spesialis jantung yang sudah ku anggap sebagai ayah bagiku. Ayahku telah tiada sejak aku berusia 7 tahun, beliau adalah seorang pembina Pramuka di sebuah gugus depan, namun sayang, disaat kejayaan beliau membina, sebuah penyakit yang sama sepertiku telah merenggut nyawanya. “Jadilah penerus Ayah nak, karna tugas Ayah belum selesai, dan Ayah harap kamu kelak bisa menjadi seorang Praja Muda yang membanggakan.” Begitulah pesan terakhir yang Ayah berikan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
            Dan mulai saat itulah aku bertekad untuk menjadi seorang Praja Muda Karana yang di harapkan Ayah. Namun, disaat harapan itu ingin ku wujudkan di masa SMA, ternyata penyakit yang diderita Ayahpun menurun padaku. Beberapa bulan setelah aku sah menjadi anak SMA aku sudah tidak masuk sekolah selama satu bulan, bukan karna aku ndugal, tapi karna harus melewati masa pemulihan. Aku hampir putus asa, karna aku tidak mungkin bisa menjadi seseorang yang Ayah harapkan, usiakupun pasti tidak akan lama lagi. Begitulah pikirku. Namun ternyata Tuhan masih sayang padaku, Dia kirimkan orang-orang yang begitu menyayangiku, yaa, orang-orang itu adalah para sahabat dan kakak seniorku. Disela kesibukan mereka sebagai penggedhe di sekolah ternyata mereka masih sempatkan diri untuk menjengukku. Begitu banyak motivasi yang mereka berikan sehingga sejak saat itu tumbuh keyakinan bahwa aku masih bisa sembuh.
            Hingga saat hari pertamaku masuk setelah satu bulan vacum dari dunia pendidikan aku berkeinginan untuk mengikuti kumpul Pramuka yang akan membahas acara yang disebut dengan Kemah Bhakti Bantara. Istilah yang asing bagiku.
“Kamu yakin ingin ikut Ded ?” tanya Clarissa, teman semejaku. Maklumlah, aku baru masuk kelas, jadi tinggal tersisa Clarissa yang duduk sendirian.
“Iyaa dong Riss. Hahaha, Kenapa?” Tanyaku balik dengan nada sumringah.
“Kamu kan baru saja sembuh, acara kemah disini bukan untuk sekedar Happy-happy lo Ded. Disini penuh dengan kesigapan dan kedisiplinan. Apa kamu yakin ?” Saran Heri memotong tawaku.
“Aku itu kuat lo teman-teman, lihat nih sudah seperti Dedy yang dulu kalian kenal.” Aku pun berdiri dan berusaha meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja.
 “Teman-teman, jangan halangi tekad seseorang. Tuhan, tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Justru dari cobaan-cobaan itu tandanya Tuhan masih sayang sama kita. Dan kalian bisa lihat, bahwa sekarang aku baik-baik saja. Kalian juga tau, bahwa Almarhum Ayah menginginkan aku bisa menjadi seorang Praja Muda yang membanggakan. Dan aku harap ini adalah kesempatanku untuk mencapai itu.” Tambahku sembari tersenyum.
Kulihat sahabat-sahabat yang mengelilingiku waktu itu, Bunga, Clarissa, Heri, Wahyu, Nando, semua saling bertatap-tatapan mendengar lontaranku. Bahkan Bunga yang kuanggap sebagai seseorang yang selalu tegar, nampak mengusap air mata yang menetes di pipinya.
            Hari yang ku nantipun tiba, dengan segala kematangan persiapan, aku yakin tak ada satupun barang yang diminta panitia yang tertinggal di rumah. Sudah kupastikan semua masuk dalam ranselku. Berbagai kegiatan ku ikuti, namun ada saatnya jelajah aku tidak diizinkan panitia untuk ikut, karna melihat kondisiku yang mungkin saat itu terlihat pucat. Aku pun diminta untuk ke ruang saloka, namun aku menolak. “Aku jaga tenda saja Kak, aku pastikan tak ada apa-apa. Aku akan masak untuk teman-teman.” Bantahku tegas kepada kak Nafi sebagai Pradana di gugus depan tersebut.
            Matahari semakin condong kebarat, kulihat dari balik tenda teman-teman sanggaku telah sampai di sekretariatan, betapa leganya melihat muka gosongnya mereka dengan balutan semacam arang hitam di pipi. Aku pun tersenyum dan menyajikan makanan didalam tenda khusus teruntuk mereka. Aku tau mereka lelah, dan harapanku pastilah makanan alakadarnya itu langsung disantap dengan lahap. Dan ternyata benar, betapa sumringahnya mereka ketika melihat kedalam tenda telah ada menu makanan anak Pramuka, yaitu Oseng buncis, wortel, dan tempe goreng. Nandopun segera memimpin do’a dan langsung menyantap habis makanan itu. Tak mereka sadari hancurnya rasa masakaku. Aku yang memasaknya saja nggak yakin, tapi mereka tak peduli. Bak anak terlantar tanpa makan tiga hari. Begitu lahab dan kompaknya mereka.
Disela waktu ishoma ada kalanya kita bersenda gurau. Gelak tawa mereka mengurangi sakit yang sebenarnya ku rasakan. Hingga menjelang resepsi api unggun, dada sebelah kiriku berasa seperti ditusuk parang. “Ya Allah, jangan biarkan hamba masuk saloka dan merepotkan teman serta kakak-kakak senior. Kuatkan hamba demi Ayah, dan demi tekad hamba Ya Allah. Engkau Yang Maha Mengetahui apa yang hamba rasakan, biarkan ini menjadi rahasia hamba. Jika hamba harus jatuh hari ini, hamba akan gagal membahagiakan Ayah. Jangan biarkan hamba menjadi anak yang durhaka Ya Allah.” Do’a dalam shalat Isya’ku dan sebelum peluit tanda berkumpul dibunyikan Kak Nizam selaku Pemangku Adat.
            Selang beberapa hari setelah acara perkemahan itu, ekstra wajib Pramukapun diaktifkan lagi. Namun sayang, hingga ekstra terakhirpun aku tak pernah bisa mengikutinya karna setiap Sabtu aku harus ceck-up ke Dokter Danang. Namun entah karna kasihan atau apa akhirnya akupun di beri amanah untuk menjadi Juru Uang. Sungguh suatu kehormatan bagiku, aku yang tak pernah merasakan bagaimana rasanya lulus SKU sebagai Bantara sampai Laksanapun bisa dibilang sekarang menjadi  penggedhenya Pramuka. Tak sedikit kritik dari luar yang begitu menyengat telinga dan hati tentang keputusan Kakak senior yang memberiku amanah itu. Sebenarnya wajar, karna memang perjuanganku tak ada apa-apanya di banding teman-temanku yang hampir setiap Sabtu rutin mengikuti ekstra.
“Kita kasih kamu kepercayaan ini bukan tanpa alasan, kami punya pertimbangan bahwa tekad kamu untuk bisa menjadi seorang Pramuka itu tinggi. Meski secara fisik kamu tidak lulus SKU seperti teman-teman kamu yang lain, tapi kami tau keloyalan kamu. Bagaimana kamu bisa memberikan inspirasi bagi rekan-rekan kamu bahwa dengan raga yang lemah itu tidak menghalangi jiwa kita untuk menjadi seorang Praja Muda Karana yang tangguh, dan perlu kamu tau bahwa Pramuka itu bukan hanya sekedar organisasi, tapi juga Jiwa dan tujuan seseorang. Capai tujuan itu dan tetap jadilah kamu yang apa adanya. Raga lemah jangan jadikan masalah, tapi jadikan itu suatu pembuktian untuk menjadi Jiwa yang tangguh.” Jelas teringat nasehat Kak Nafi, sang motivator.
Selayaknya orang penting, dengan title Juru Uang akupun terlalu sibuk memikirkan bagaimana memanage uang dengan baik dan pantangan bagiku adanya virus KKN. Sakit yang kurasakan tak menjadikanku alasan untuk berangkat pagi pulang sore, atau bahkan disaat menjelang ada acara tak tanggung-tanggung aku dan teman-teman yang lain tidur di sekolahan.
            Dan selang beberapa waktu aku dipercaya untuk mengikuti lomba PBB, dimana lomba itu begitu menguras tenaga dan fisik, meskipun sempat ada penolakan dari Dokter Danang dan Ibu, karna lemah jantung sangat rawan pada kondisi fisik yang lemah dan terlalu capek, tapi aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku akan baik-baik saja. “Hidupku memang hanya bergantung pada obat Pak, tapi aku nggak pengen terus-terusan memanjakan tubuhku. Semakin lama aku tak bergerak, maka akan semakin lama pula penyakit ini sarang ditubuhku. Dan hanya akan melemahkanku. Tolong izinkan untuk kali ini.” Tegasku pada Dokter Danang.
 Sakit akan benar-benar menjadi sakit jika kamu memanjakan sakit itu dengan tidak menggerakkan tubuhmu kalimat dari Pembina putri itulah yang membulatkan tekadku untuk tetap ikut lomba itu.  Dan semenjak latihan fisik itu justru aku tidak lagi merasakan sakit di dada kiriku. Entah disembunyikan sementara atau selamanya aku tidak tahu. Yang jelas hingga saat hari H untuk lomba tersebut aku tidak merasakan sakit itu. Setelah lomba itupun aku ceck-up lagi ke Dokter Danang, dan ternyata jantungku bisa kembali normal.
“Ini sungguh diluar pemikiran, dengan olah fisik ternyata jantung Dedy bisa kembali normal. Ini seperti mu’jizat dari-Nya.” Tungkas Dokter Danang terkejut ketika melihat hasil diagnosa kesehatanku.
Akupun bengong tak percaya, semua ini ternyata mungkin terjadi. Tak menyangka, Ayahku saja meninggalkan kami karna penyakit yang sama, sementara aku bisa sembuh. Subhanallah. Kuasa-Mu begitu dahsyat yaAllah.
            Hari demi hari ku lalui, begitu banyak yang aku dapat dari orang-orang Pramuka. Korsa, disiplin, tanggung jawab, wibawa, dan bahkan sakit yang menggerogotikupun dapat dikalahkan oleh tekadku untuk menjadi seorang Pramuka. Allah mengatur dan mempertahankan hidupku lewat perantara Jiwa Pramuka yang aku perjuangkan.
            Tak terasa lamunanku dibuyarkan oleh terik matahari yang begitu masuk melalui celah jendela kamar. Akupun mengeryitkan mata sebagai tanda cahaya itu menembus kelopak mataku. Ternyata lama sudah aku memutar memori masa laluku diatas sajadah ini. Kini meskipun sudah tak menggenggam amanah Juru Uang tapi jiwaku masih dalam Pramuka. Acara apapun yang diselenggarakan gugus depan aku selalu berusaha menghadirinya, sebagai tanda bahwa darahku telah mengalir bersama jiwaku untuk menjadi Pramuka.
Semoga lahir jiwa-jiwa Muda yang memiliki dedikasi tinggi untuk menjadi seorang Praja Muda Karana yang tangguh.

0 komentar:

Posting Komentar